Isyarat

"Serius Bro?" aku memastikan. Ga terlalu kaget sih. Banyak sebab yang bisa memicu hal tersebut.

"Iya bro. Gue mimpiin ga cuma sekali. Lebih lah dari 5 kali." Kata Hendra lewat chat WhatsApp.

"Yah mungkin lu pernah dengan gosip soal ini, lewat kakak lu mungkin." aku mencoba mencari kemungkinan alamiah.

"Kakak gue mah ga pernah cerita macam begitu sama gue." Hmm.., menarik. Lagipula aku cuma cerita hal ini sama Erlang, kakaknya Hendra. Ga mungkin bocor dan aku juga tahu persis Erlang bukan tipe laki-laki yang suka ngegosip. Kecuali dia cerita ke istrinya, lalu istrinya cerita ke si Hendra atau istrinya Hendra. Aku mencoba mengkonfirmasikan juga hal itu pada Hendra.

"Ga lah. Macam mana mba Via cerita itu sama gue atau istri gue. Bukan urusan gue juga hahaha.." Memang sih, mereka bukan tipe keluarga yang suka ngegosip kayak istrinya si Kamil yang superkepo tapi dalam beberapa kasus bisa jadi informan penting.

Lebih menarik lagi karena aku juga memimpikan hal yang serupa. Mimpi itu muncul beberapa hari setelah aku mengurungkan niatku pasca muncul beberapa isyarat, isyarat yang bikin ga enak hati sekaligus bikin lega hati. Tapi buat aku sebagai pemeran utama itu tidak aneh. Faktor penyebabnya jauh lebih banyak daripada kasus yang dialami Hendra sebagai orang di luar kisah. Tapi bentar, Hendra tidak sepenuhnya tokoh di luar kisah. Dia sudah kuanggap sebagai 'promotor' bagi Wina, tokoh utama kedua setelah aku dalam kisah ini.

Roda motor listrik kecil itu berputar kencang, membawa Willy, anak pertamaku bermain berkeliling di lapangan Masjid Agung. Sambil mengamati dia yang sudah mulai lihai mengendari motor listrik, kedua ibu jariku juga sibuk di atas keyboard virtual smartphoneku seolah bergerak otomatis. Tak kusangka chattingan dengan Hendra bisa seasyik ini, karena setiap balon pesan yang dia kirim sungguh sangat informatif melebihi ekspektasiku.

Ini adalah kisah tentang bagaimana aku menangkap isyarat, dan memaknainya sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan satu keputusan terpenting dalam hidupku.

Imam Hanbali

Suasana masjid maghrib ini tidak berbeda dari hari-hari biasanya, selain karpetnya yang tergulung di pojokan. Ini kali pertama aku kembali shalat di masjid, setelah lockdown yang menahanku untuk melangkah sholat ke sana. Bukan karena masjidnya dikunci rapat, tapi karena pilihanku atas pendapat untuk tetap diam di rumah agar tidak tertular atau menularkan. Mungkin juga karena imanku yang masih lemah. Paling tidak, masih ada rasa tidak nyaman ketika jauh dari tempat sujud berjamaah itu. Saat ini sudah 3 bulan berlalu sejak kebijakan lockdown, dan 6 bulan sejak kematian istriku.

Dari shaf ketiga, selepas sholat, aku melihat ustadz Acep yang sedang ngobrol dengan seseorang yang aku kenal wajahnya karena beliau selalu ada setiap aku ke masjid. Tapi aku tidak pernah tahu namanya. Mungkin hanya 5% saja dari total jamaah masjid yang aku kenal wajah dan namanya. Ustadz Acep melihat ke arahku, dengan masker yang masih menutupi wajahnya. Aku bisa mengenali ustadz Acep dan juga jamaah lainnya meskipun sebagian wajah mereka tertutup masker. Tak lama kemudian ustadz Acep menghampiriku. Aku pun beranjak berdiri. Kami bersalaman dan kutempelkan punggung tangan beliau ke dahiku.

"Tos nikah te acan?" artinya sudah menikah atau belum. Pertanyaan pertama yang bikin aku kaget. Umumnya saat pertama kali bertemu, orang-orang akan mengucapkan belasungkawa atas kematian istriku. Ustadz Acep memang berbeda, dan itu yang membuatku merasa diperhatikan oleh sang guru. Aku sudah belajar agama dari beliau sejak usiaku masih SD.

"Te acan ustadz" aku jawab belum.

"Yeuh, Imam Ahmad bin Hanbal oge nikah deui 3 hari kemudian setelah istri pertamanya wafat" aku tau kisah itu, tapi seingatku Imam Ahmad menikah lagi malamnya di hari istrinya wafat. Terlepas dari kapan persisnya, aku yakin keputusan Imam Ahmad itu bukan atas dasar nafsu. Saat muridnya bertanya alasan beliau menikah lagi secepat itu, beliau menjawab kira-kira seperti ini "aku tidak ingin bila datang ajalku dan saat itu aku menghadap Allah dalam keadaan membujang". Kupikir sedemikian tinggi ilmu dan iman yang dimiliki imam besar salah satu pendiri madzhab fiqh yang masyhur itu.

"Itu kan sekelas imam madzhab, Ustadz. Saya mah bukan siapa-siapa" jawabku benar-benar merendah. Setelah ditinggal wafat istriku 6 bulan lalu, aku nyaris kehilangan arah hidup. Spirit perjuanganku nyaris runtuh. Saat istriku Yani masih ada, aku ingin dan sangat ingin membahagiakan dia. Tetapi saat Allah mengambilnya kembali, aku merasa gagal tidak dapat mencapai tujuan itu. Aku merasa tujuan hidupku sudah hilang. Aku tidak punya alasan untuk bekerja keras lagi. Belakangan aku mendapatkan penyadaran. Melalui musibah ini Allah seolah ingin memberi tahu kepadaku kalau tujuan hidupku salah. Allah ingin memberi tahu kalau bukan itu visi hidupku. Kalau tujuan hidup dan kerja kerasku hanya semata untuk membahagiakan orang yang kusayangi, maka Allah lebih kaya dan lebih punya kuasa untuk membahagiakan mereka. Sekarang Allah telah tampakkan hal itu padaku. Yani jauh lebih baik di sisiNya daripada di sisiku.

Sambil berlalu ustadz Acep berpesan kepadaku "Yah, setidaknya menikahnya dicontoh lah ya. Ana duluan yah, assalamu'alaikum" sambil tersenyum.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah" jawabku.

Kupikir sedikit dari ruang kosong di dalam hatiku mulai terisi. Aku kembali ke rumah bersama dengan pesan ustadz Acep yang terus membuatku berpikir. Mungkin sudah saatnya aku sudahi kesedihan ini. Kembali aku teringat bagaimana beratnya ujian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika ditinggal wafat ibunda Khadijah dan sang paman Abu Thalib di waktu yang berdekatan. Rasulullah bahkan ditinggal wafat oleh semua anak laki-lakinya di usia belia. Sungguh, apa yang kualami ini tidak ada apa-apanya dibanding apa yang Rasulullah alami. Aku harus melanjutkan hidup. Waktu yang kumiliki jauh lebih singkat dibanding amanah umat yang harus kuemban.

Aku jatuhkan badanku ke kasur tipis di kamarku. Kubuka smartphone dan kunyalakan Netflix. Baru saja kemarin kuunduh film Dilan, semuanya, yang 1990, 1991 dan Milea. Ah, sungguh ironis melihat bagaimana aktivitasku sama sekali tidak mendukung pemikiranku. Tapi aku terlalu malas untuk mengerjakan hal lain selain rebahan. Kusetel juga film Dilan itu. Judul pertama kutonton dengan biasa saja sampai hampir selesai, ketika aku menemukan satu dialog yang nampaknya tidak asing di telinga. Aku menjeda film dan tertegun sejenak, lalu memutar ulang bagian itu. Dialog itu membangkitkan emosiku akan sesuatu. Aku yakin belum pernah menonton film ini sebelumnya, dan tidak ikatan emosi antara aku dengan film ini kecuali karena aku pernah membaca bukunya saja. Aku setel lagi berulang kali detik-detik dialog tersebut. Ternyata bukan dialognya yang familiar, tapi nada bicara dan suara Milea di bagian itu yang mengusik ingatanku.

Apa aku pernah bertemu Milea, atau Vanesha sang artis pemeran Milea sebelumnya?

Suara Milea

"Assalamu'alaikum, kami dataaang" Willy masuk ke ruang kantor sambil sedikit berteriak salam.

"Assalamu'alaikum, kami juga dataaang" Rey juga berlari menyusul kakaknya dengan kaki kecilnya yang aku selalu khawatir ia akan tersandung. Bajunya serba pink karena itu warna yang paling dia suka. Nyaris semua baju di lemarinya berwarna pink.

"Wa'alaikumusalaam" karyawan kantor serempak menjawab. Mereka berdua berhamburan ke arah para karyawan dan mencium tangan mereka satu per satu. Itu karena memang aku suruh mereka seperti begitu saat akan masuk kantor. Aku juga menyuruh Willy untuk membagikan sekantong penuh jeruk peras ke setiap karyawan. Meskipun akhirnya dia terlalu sibuk bersalaman dan menyimpan jeruk peras itu di atas salah satu meja, lalu berlari keluar. Adiknya mengikuti.

Aku selalu berusaha membiasakan menyapa teman-teman karyawan meskipun sekedarnya setiap kali tiba di kantor. Kami bekerja di perusahaan startup digital yang bergerak di bidang pengembangan aplikasi. Sebagian besar karyawan adalah para programmer web dan mobile. Sisanya adalah customer service dan desainer. Kami menerima jasa pembuatan aplikasi web, komputer, dan mobile. Terkadang aku merasa lebih baik membuat produk sendiri daripada mengurus produk orang lain. Tapi kondisi saat ini menuntut kami untuk bertahan karena dari proses bisnis inilah porsi dominan penghasilan perusahaan.

Aku kemudian menyimpan tasku di bawah meja kerjaku dan menyalakan laptop. Sambil menunggu laptop menyala aku panggil Willy dan bilang padanya supaya menjaga adiknya selama bermain. Ia mengangguk. Aku siapkan beberapa mainan dan buku anak yang dibawa dari rumah supaya sang adik bisa bermain dengan anteng di atas rumput sintetis di ruang depan kantor. Adapun kakaknya hanya membawa beberapa mainan mobilan diecast. Dia sibuk bermain sendiri dengan mobilnya, sambil berlari-lari dengan posisi mobil tepat di depan hidungnya. Aku yakin dia sedang memutar ulang ingatannya akan video rekaman permainan game balapan yang ia lihat dari Youtube.

Hari itu rasanya suntuk sekali. Ya, mungkin tidak hanya hari itu saja. Hampir 2 bulan pertama semenjak istriku wafat aku tidak fokus kerja. Aku seperti orang linglung, menatap kode program di layar laptopku tapi sama sekali tidak paham apa yang tertulis disitu. Aku sempat khawatir tiba-tiba saja skill ngodingku hilang dalam sekejap. Tapi itu masih tidak dapat mengalahkan kekhawatiran akan nasib anak-anakku yang kini tidak punya ibu. Aku bersyukur masih punya orang tua yang lengkap. Ibuku-lah yang merawat anak pertama dan keduaku. Sedangkan anak ketigaku yang belum sampai 1 tahun usianya dirawat oleh ibu mertuaku. Setidaknya mereka punya sosok pengganti ibu yang bisa mengasihi mereka dengan lembut.

Yaps, aku punya 3 anak. Bagi sebagian orang, untuk usiaku yang baru 31 hal itu adalah sebuah prestasi. Aku tidak menganggapnya demikian. Punya anak bagiku adalah kewenangan mutlak bagi Sang Pencipta. Aku hanya dititipi saja. Dengan pola pikir seperti itu aku bisa sedikit lebih tegar melihat mereka bermain dengan riang. Mereka belum paham apa yang sebenarnya telah menimpa mereka. Saat kita dititipi sesuatu, maka tugas kita hanyalah merawatnya agar saat diambil kembali oleh pemiliknya, ia tetap dalam keadaan baik dan tidak rusak. Apalagi bila titipan itu adalah seorang anak, atau 3 orang anak. Bagiku tugasku hanyalah merawat dan mendidik mereka. Segala kebutuhan mereka tentulah Ia Yang Menitipkannya sudah menyiapkan juga.

Browser menyala. Tab pertama yang terbuka adalah Youtube. Saat itu aku sedang mengikuti serial Ngaji Jomblo dari ustadz Felix Siauw. Semenjak ustadz Acep menasehatiku kala itu, aku akhirnya memutuskan untuk belajar lagi. Belajar ilmu menikah. Meskipun aku lulusan pesantren, sangat kusadari ilmu agama yang dipelajari selama menjadi santri tidak seberapa. Tentulah bila tidak melanjutkan belajar selepas lulus pesantren, ilmu agamanya tidak akan pernah berkembang.

Ada satu penjelasan menarik saat ustadz Felix Siauw menceritakan bagaimana pertama kali beliau bertemu dengan calon istrinya. Ia melihat salah seorang mahasiswa sekelasnya yang berjilbab turun ke sawah --karena saat itu sedang praktek menanam kalo ga salah-- tanpa melepaskan kaos kakinya. Alhasil bagian bawah rok dan kaus kakinya kotor terbenam lumpur. Namun wanita tersebut sama sekali tidak risih dengan hal itu. Pikir ustadz Felix, ini nih calon istri yang sholehah. Dari situ aku jeda videonya dan beranjak masuk ke ruangan kerja karyawan. Aku mencoba memperhatikan karyawan wanita yang ada disitu. Ah, bersyukur sekali melihat mereka semua memakai kaos kaki, berkerudung dan berpakaian rapi. Semuanya ada 3 orang karyawan wanita.

Aku kembali ke tempat dudukku, dan mencoba merapikan meja kerjaku yang sedari kemarin masih berantakan dengan buku-buku lama yang kubawa dari rumah. Tak lama berselang, terdengar seseorang mengetuk pintu ruang kerjaku, nyaris tak terdengar karena aku menyetel video via ChromeCast TV.

"Kak Harry" seseorang memanggilku.

Deg! Wow, sensasi apa itu.

"Kak Harry, ini ada yang nanya di chat," Wina menghampiriku dan menunjukkan chat WhatsApp dari nomor salah satu klien perusahaan. Aku jawab sekenanya sambil mendengarkan Wina berbicara dengan seksama tanpa melihatnya. Setelah dia keluar ruangan, aku buru-buru membuka Netflix dan memutar kembali flm Dilan. Aku geser progress bar video ke bagian akhir film dan mencari scene yang beberapa hari lalu kuputar berulang-ulang saking penasarannya. Aku yakin tidak pernah bertemu dengan Vanesha dan ga pernah nonton film yang dia perankan selain Dilan. Aku sudah mencoba mengingat-ingat suara istriku, tidak sama. Aku mencoba mengingat-ingat suara teman-teman SMP dan SMA-ku, semua kenalan wanita, tidak ada yang cocok. Hanya satu yang cocok, persis, Wina.

Tapi kenapa Wina? Kenapa dialog Milea di film itu membangkitkan ingatan emosionalku? Seingatku aku belum pernah punya perasaan suka apalagi jatuh cinta pada Wina. Meskipun dia adalah adik kelasku saat di pesantren dulu, tapi jarak usia kami terpaut 5 atau 6 tahun. Di kantor pun kami berinteraksi secara normal dan profesional. Tak ada hubungan khusus.

Dulu bahkan aku sempat dimintai bantuan oleh Hendra untuk mencarikan jodoh buat Wina. Hendra berpesan untuk mencarikan calon suami yang sholeh dan diutamakan kader Persis. Karena aku termasuk anggota yang aktif di ormas Pemuda Persis, sehingga relatif cukup mudah bagiku menjangkau kader-kader Pemuda Persis yang masih lajang. Aku coba menawarkan taaruf ke beberapa kader yang sepertinya cocok bila bersanding dengan Wina. Meskipun akhirnya tidak ada satu pun yang jadi. Sungguh, jodoh adalah ketentuan Allah. Ia Maha Berkehendak menyandingkan di antara hamba-hambaNya untuk berjodoh dengan pertimbangan yang sempurna sesuai dengan Kemahaluasan ilmuNya.

Jadi, ada apa dengan Wina?

WinWin Solution

"Lihat Ayah, si Asep udah bisa jalan!" Ibu mertuaku menunjuk ke arah ruang tamu. Ini adalah jadwalku berkunjungku ke rumah mertua, rumah yang masih menyisakan kenangan pedih karena kehilangan satu penghuninya. Rumah ini menjadi saksi 10 tahun usia pernikahanku dengan istriku. Rumah ini juga yang menjadi saksi perjuangan istriku melawan kanker setahun terakhir sebelum kematiannya. Aku belum mampu berlama-lama di rumah ini, kalau bukan karena merasa perlu untuk menjenguk Asep, anak ketigaku. Terakhir kali aku menjenguknya 2 minggu yang lalu. Ia dirawat oleh ibu mertuaku. Jarak antara rumah orang tuaku dan rumah mertuaku hanya sekitar 5 km, satu kota beda kecamatan.

Aku mengejar Asep dan menangkapnya, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, seperti yang biasa aku lakukan kepada Willy dan Rey saat mereka masih batita. Dia menatap wajahku lalu tersenyum dengan senyuman yang mengembang. Aku yakin itu adalah ekspresi kegembiraannya melihatku. Aku bersyukur karena ia masih mengingatku. Aku sempat khawatir ia akan lupa ayahnya karena aku sangat jarang menjenguknya. Hanya seminggu atau dua minggu sekali. Tapi ayah mertuaku kemudian bilang kalau antara anak dan orang tuanya tidak akan hilang getaran hatinya. Beliau juga berpesan kepadaku supaya lebih sering lagi menjenguk Asep.

Bukan aku tidak mau mengurus Asep. Istriku meninggal saat Asep berumur tepat 6 bulan. Ibu mertuaku tentu sangat terpukul dengan kepergian putri sulungnya. Dan Asep baginya adalah jimat, peninggalan terakhir istriku sekaligus pelipur lara baginya. Beliau bilang ingin mengurus Asep. Aku tak kuasa menolak permintaan itu. Bagiku ibu dan ayah mertuaku adalah orang tua kedua yang harus kuperlakukan terbaik setelah orang tua kandungku. Belakangan aku sadar kalau ini mungkin memang solusi terbaik. Untuk kondisiku yang sekarang aku akan sangat kesulitan bila harus merawat 3 anak sekaligus tanpa partner dalam rumah tangga. Dan kenyataanya ibuku jugalah yang akhirnya lebih intensif merawat Willy dan Rey karena sebagian besar hariku digunakan untuk bekerja.

"Ahar, lihat aku punya buku teh WinWin." Deta datang menunjukkan satu buku novel yang covernya tidak asing. Deta adalah adik iparku dan Ahar adalah panggilan akrabnya kepadaku, atas rekomendasi istriku dulu. Aku memicingkan mata dan melihat lebih dekat. Itu adalah buku novel yang ditulis oleh Wina. Oh lagi-lagi Wina. Baru kemarin sinyal aneh itu muncul, dan sekarang adik iparku menunjukkan hal yang ada hubungannya dengan Wina.

"Tolong mintain tanda tangan teh WinWin doong" pintanya sambil menyodorkan buku itu.

"Yey, minta aja sendiri!" kataku pura-pura cuek.

"Atulaah.., pliis"

"Ya udah sini! Bayar ya. Nanti kan aa harus bayar sama teh WinWin. Tanda tangannya mahal tau!" kataku ngasal.

"Yang bener a?" aku bingung melihat ekspresinya apakah beneran kebingungan atau pura-pura bingung.

"Yah kalo ga bener, uangnya tetep bisa dipake buat modal bensin motor aa ke kantor kan"

"Ah si aa mah memanfaatkan situasi terjepit" seperti biasa, Deta masih saja menggunakan istilah yang kurang pas yang bikin perutku mulas karena tertawa.

"Heh, punya karyawan artis itu tidak mudah tau!" padahal Wina bekerja di kantorku bukan karena kami sengaja mencari karyawan artis. Aku menggunakan istilah artis --atau artist dalam bahasa inggris-- untuk Wina karena dia adalah seorang seniman. Orang Indonesia menggunakan istilah artis terbatas hanya untuk orang-orang yang bermain film saja. Padahal seharusnya pelukis dan pematung juga disebut artis.

Tapi meskipun Wina seorang ilustrator dan penulis, dia melamar bekerja di kantorku sebagai customer relation. Ia pernah kuliah di salah satu kampus Islam di Bandung jurusan jurnalistik dan pernah bekerja sebagai penyiar radio. Kualifikasi ini kami nilai cukup potensial untuk bekerja sebagai CR. Kami tidak terlalu memanfaatkan keahliannya dalam menggambar dan menulis karena kami ingin dia leluasa untuk berkarya di luar pekerjaan kantor dengan bakatnya itu.

Jam dinding menunjukkan pukul 11. Aku tidak bisa lama di rumah mertua karena harus berangkat ke kantor. Aku menangkap Asep yang sedang berlarian mengitari meja ruang tamu dan mengangkatnya tinggi-tinggi sekali lagi. "Ayah kerja dulu yaa" kami bertemu pandang. Seolah mengerti aku akan pergi lagi, dia langsung memelukku lebih erat dan tidak ingin dilepas dari gendongan. Perlu beberapa waktu untuk mengalihkan perhatiannya sebelum akhirnya aku mencium tangan ibu mertuaku dan pamit pergi.


"Ga kaget wew" Aku memarkirkan motorku di depan kantor ketika tanpa kusadari sudah ada wajah yang menyembul dari jendela kantor. Kalau Putra tiba lebih dulu di kantor, dia hampir dipastikan akan selalu menyiapkan skenario untuk mengagetkanku. Hal itu membuatku harus selalu waspada setiap kali masuk kantor. Skenario bersembunyi di balik pintu atau menyembulkan wajah di celah jendela sambil mengeluarkan suara aneh adalah jurus lama.

Berbeda dari hari biasanya, kali ini seluruh founder perusahaan berkumpul di Bandung. Rencananya hendak membahas deviden yang seharusnya dibagikan di awal tahun. Sekarang sudah pertengahan tahun. Erlang yang biasanya bekerja dari rumahnya di Jakarta sudah hadir di ruang kerja. Zul yang juga bekerja dari Banten sudah mulai sibuk bercengkerama bersama para karyawan. Dian sudah sibuk dengan hitung-hitungan di spreadsheet di laptopnya. Biasanya diantara 5 founder hanya aku, Dian dan Putra saja yang ngantor di Bandung.

"Mana aja lu Bro" tanya Erlang sambil menyodorkan salam kepal.

"Biasa euy, nengok dulu si bungsu" kataku.

Aku berjalan menuju ruang karyawan. Nampak Zul dan para karyawan duduk memutar dengan kursi masing-masing. Aku menarik satu kursi beroda dan memposisikan diri di sela-sela karyawan. Tampak Wina duduk di sisi seberangku. Entah baru hari ini wajahnya tampak lebih cerah dari sebelumnya, atau aku saja yang baru ngeh. Oh ya, aku baru sadar kalau dia juga memakai kerudung yang dilipat. Berbeda dari biasanya dimana dia bekerja dengan kerudung kaos yang tinggal dimasukkan saja kepalanya kedalamnya. Dan sekali lagi suaranya saat berbicara mengingatkanku pada Milea haha..


Tepat pukul 5 sore, jadwal bubar karyawan. Para founder masih berkumpul di ruang meeting. Karena pintu ruangan terbuka, jadi kami bisa melihat para karyawan yang lewat untuk pulang.

"Semuanya Wina pulaaang.." sahut Wina dari depan pintu meeting sambil berjalan berlalu. Diikuti sahut menyahut oleh karyawan yang lain. Posisi ruangan meeting yang lebih dekat ke pintu depan kantor membuat para karyawan perlu melewati depan ruangan meeting. Seketika suasana kantor lebih senyap, selain suara kami berlima yang masih berdiskusi ringan. Bahkan pembahasan utama terkait deviden pun masih belum dimulai.

"Bro kalau gue nikah sama si Wina gimana?" tiba-tiba saja penyataan itu mengalir dari mulutku. Suasanya seketika hening. Ada jeda beberapa detik sampai akhirnya Erlang yang mulai bersuara.

"Bagus Bro, jadi si Wina bisa jadi bagian dari keluarga perusahaan"

"Wah parah, mengikat karyawan dengan ikatan nikah haha.." ujar Hadi.

"Bukan, maksudnya company family" yang Erlang maksud adalah keluarga founder. Kami membuat satu grup khusus di WhatsApp yang isinya adalah founder dan para istri.

"Lu istikharah dulu aja bro. Tapi kalo menurut gue sih lu cocok sama si Wina. Dia orangnya rapi, satu jamaah, alumni pesantren yang sama dengan kita, dan dia orangnya ga terlalu ambisius kayak si Novi" Erlang sekilas mengungkit pambahasan Novi, teman pesantren kami yang juga belum menikah sampai sekarang. Aku sempat dijodoh-jodohin sama Novi. Tapi Novi termasuk tipe wanita karir, dan kupikir aku akan cukup kesulitan bila berpasangan dengan Novi. Terlebih karena sekarang aku bukan bujangan lengoh yang hanya membawa diri. Aku punya anak-anak yang perlu diberi perhatian dan diajak main. Erlang juga setuju kalau aku tidak cocok dengan Novi. Novi akan butuh sosok laki-laki yang lebih tua dan lebih dominan daripada dirinya. Mungkin itu juga yang jadi alasan kenapa Novi ga jadi menikah sama Hadi. Ya, mereka pernah punya hubungan dulu saat di pesantren.

Pada akhirnya pembahasan deviden digeser ke besok. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak pulang.

"Bro gue ikut motor ente ya" Putra dan aku pulang searah. Kami sama-sama tinggal di Bandung Barat, hanya beda kecamatan saja.

"Hayu" kataku. Kami sudah biasa pulang dan pergi boncengan ke kantor. Meskipun Putra punya motor sendiri. Kadang dia tinggal motornya di kantor atau di rumah bila kami berangkat berboncengan. Biar hemat tenaga katanya. Aku bilang biar hemat bensin juga, mewakili alasan lain yang dia tidak ingin katakan.

"Bro tolong pegangin dulu ini, hape gue ketinggalan di dalam" aku serahkan kunci motor ke Putra dan mengambil smartphoneku di meja, yang sengaja kutinggalkan disana.

"Yah masa gue terus yang bawa motor. Mentang-mentang gue yang nebeng" Putra seolah tau kalau aku sengaja pura-pura menitipkan kunci padanya. Maksudku, kalau kuncinya sudah dia yang pegang, tentunya dia akan merasa malu bila memberikan kembali kuncinya padaku dan akhirnya dia yang ambil alih posisi menyetir. Namun kali ini akhirnya dia angkat bicara juga.

"Hahaha.. beneran gue mau ambil hape, tuh di meja ketinggalan" aku menunjuk ke arah meja kerjaku dari luar menembus jendela. Pada akhirnya giliran aku yang membawa motor dan Putra dibonceng karena saat berangkat tadi dia yang memboncengku. Trik menitip kunci tadi memang sengaja kulakukan untuk menggodanya saja.

"Tapi bro, beneran kayaknya ente cocok dah sama si Wina. Wina itu seperti mutiara yang ada di tumpukan jerami" Putra membuka pembicaraan.

"Jadi karyawan yang lain jerami gitu ya haha.." kataku.

"Iyaa," jawabnya tidak mempedulikan gurauanku. "Lihat aja Wina itu rapi pakaiannya, modis juga. Dan sekarang dia kayaknya udah bisa pakai make-up. Berbeda dengan saat pertama dia gabung di perusahaan kita."

"Iya ya bener juga," berarti penilaianku tidak salah. "Rasa-rasanya dia lebih bening dari sebelumnya"

"Iya bro, kurang apa lagi coba. Pemahaman agama kalian sama, sama-sama alumni pesantren Persis. Keluarganya juga katanya Persis tulen. Level ekonomi keluarganya juga relatif bagus. Orangnya ga neko-neko. Udah apa itu istilahnya setara teh?"

"Sekufu'?"

"Nah iya itu"

Aku berpikir lagi. Apa perlu aku seriusin niat ini. Awalnya cuma ingin melihat reaksi anak-anak founder aja. Tenyata jadi kepikiran terus. Memangnya dia mau nikah sama duda, dengan anak tiga lagi. Baru saja menikah sudah punya anak banyak. Meskipun kini anak-anak sudah cukup stabil diurus oleh para nenek. Jadi mungkin di tahun-tahun pertama kami dapat melakukan penyesuaian secara perlahan.

"Tapi bro, emang gue cocok buat dia? Gue kan duda, udah punya anak tiga lagi. Sedangkan dia, boleh dibilang seleb lah. Udah nulis buku, follower IGnya juga banyak". Aku mencoba melempar isu ini ke Putra.

"Lah ente mah mikirnya yang negatifnya. Kalo bicara kelebihan mah ente juga punya banyak. Pernah nulis buku juga kan, founder startup, punya bisnis sampingan juga. Kalo soal anak mah ya itu harus dilihat sebagai peluang amal, bukan beban." Benar, kukira aku juga punya daya tawar yang menarik. Pada akhirnya kembali pada orangnya. Laki-laki punya peluang untuk memilih, dan perempuan punya hak mutlak untuk menolak.

Suhu udara malam ini lebih dingin dari biasanya. Tetapi kami tetap berhenti di satu swalayan untuk bersantai sejenak sambil minum minuman dingin dan bersoda, kebiasaan buruk tidak untuk ditiru. Lebih banyak lagi yang kami diskusikan, lebih ke pembahasan bisnis dan teknis. Bagi Putra hanya aku teman di kantor yang bisa menjadi teman diskusi yang setara soal pemrograman.

"Jadi ente mau maju terus nih sama Wina?" Putra melayangkan pertanyaan terakhir sebelum kami beranjak kembali untuk naik motor. "Atau mau cari yang lain dulu? Buat ente mah harusnya mudah cari jodoh baru."

"Belum tau", kataku. "Tapi kalau mau taaruf begitu tidak disarankan untuk punya lebih dari satu. Nantinya bakal pusing sendiri dan jadi peluang syaitan menggoyahkan niat kita."

"Oh gitu?"

"Iya lah. Kita lagi ga bahas soal pacaran. Nikah itu ibadah, dan ibadah harus dimulai dengan cara yang benar. Kalau mau taaruf itu fokus sama satu wanita. Kalau setelah taaruf ternyata ga cocok, baru cari wanita yang lain. Bayangkan kalo kita taaruf dengan lebih dari satu wanita di waktu yang sama, terus keduanya ternyata bersedia menikah dengan kita, gimana coba?"

"Ya tinggal kita pilih salah satu aja yang kita paling sreg." jawab Putra.

"Iya, tapi yakin ente ga akan kepikiran nyesel nantinya, kenapa engga sama yang satunya lagi?"

"Ya harusnya engga, kan kita udah milih dengan penuh pertimbangan." jawabnya yakin.

"Pertama, andaikata wanita yang satunya tau, tentu dia akan sangat sakit hati. Udah mau, eh terus kita yang memutuskan ga jadi, padahal kita yang datang menawarkan diri. Kedua, kalau ada pilihan lebih dari satu begitu, syaitan pasti akan menggoda kita dengan menyisipkan penyesalan di hati kita. Jadinya setelah menikah teh kita malah galau-galau ga jelas gitu. Emang ente ga pernah ngalamin kayak gitu Bro?"

"Iya sih, gue juga pernah. Menjelang menikah itu rasanya jadi banyak wanita yang tampak lebih menarik seolah ingin mendekati."

"Nah kayak gitu Bro. Gue juga ngalamin dulu. Si Erlang katanya ngalamin juga. Pas dia udah lamaran, si Aminah malah kasih bendera, padahal sebelumnya dideketin malah menjauh terus." kataku. Semoga ini bukan ghibah.

"Wah kacau juga ya," tukasnya.

"Yah bukan salah orangnya juga sih. Kan mereka juga sama-sama ga tau. Yang pasti, siapapun yang akhirnya menjadi jodoh kita itulah yang terbaik buat kita dari Allah. Cuma sebisa mungkin kita minimalisir atau eliminasi resiko yang ga perlu, biar nikahnya semakin tenang. Kan menikah itu singkatan Bro, tau ga?"

"Ga tau, apaan emangnya?"

"MENIKAH, Mesra, Nikmat dan Berkah hehehe.." aku mengutip salah satu postingan dari mentor bisnisku.

"Weiisss.. kereen! Jadi nih sama Wina?"

"Gue coba mantapkan hati dulu Bro"

Rem

"Bro, kayaknya gw mau melayangkan surat penawaran" kukirim pesan kepada Erlang.

"Surat penawaran apa Bro?"

"Penawaran taaruf" jawabku.

"Sama Wina?"

"Iya"

"Udah istikharah?"

"Belum bro. Kan tidak ada pilihan A dan B." yang aku pahami, istikharah itu bila kita bimbang antara dua atau lebih pilihan. Kalau sudah mantap ga perlu istikharah lagi.

"Ga apa-apa, coba aja istikharah, biar lebih mantap."

"Ya udah gw coba istikharah dulu kalo gitu." Aku simpan smartphoneku di kasur dan menggelar sajadah, sajadah tebal oleh-oleh Madinah dari salah satu mentor bisnisku. Ini suasana waktu dhuha yang amat tenang. Angin sejuk mengalir berlomba bersama cahaya matahari pagi yang hangat masuk melewati celah pintu kamarku. Belum ada suara anak-anak berisik yang bermain di luar. Belum ada juga suara bising alat masak dari ruang dapur. Cukup senyap untuk aku mengalirkan air mata saat membaca doa istikharah setelah dua rokaat kedua sholat dhuha. Setiap kalimat dalam doa istikharah itu membuat hatiku campur aduk.

Setelah apa yang kualami, kuharap tak ada lagi sisa kesombongan di dalam hati ini, merasa diri mampu mencapai sesuatu, merasa diri sanggup menyelesaikan semua persoalan. Aku sudah pasrah dengan apapun jalan yang akan kuhadapi di depan. Terutama dengan jodohku selanjutnya. Saat aku khawatir apakah jodohku dapat menyayangi anak-anakku, sungguh Allah jauh lebih sayang mereka dari siapapun. Andaikata takdir kematianku mendahuluinya, sesungguhnya Allah jauh lebih menyayangiku daripada siapapun. Maka lewat doa ini kuserahkan yang terbaik untukku, semoga sepasrah Nabi Musa 'alaihissalam saat membawa kaumnya dari kejaran pasukan Firaun dan terjebak di pesisir laut. Atau semoga sepasrah Nabi Yunus 'alaihissalam saat ditelan ikan besar di tengah lautan di tengah malam yang gelap, tak pasti kemana ia akan terdampar atau tenggelam. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanya menambatkan hati pada Sang Pemilik lautan dan semua isinya.

Aku pun beranjak dari tempat sujud, menuju garasi dan mengeluarkan motor. Aku pamit kepada ibuku dan juga kedua anakku.

"Ayah mau kemana?" tanya Rey.

"Ayah ke kantor dulu bentar ya. Nanti sore kita main lagi. Oke?" Aku acungkan jempol, dia mengikuti. "Sun dulu atuh ayah" Rey mencium pipiku dengan sedikit jahil membasahinya dengan air liur. Aku pasang wajah kaget. Dia tertawa terbahak-bahak.

"Ayah abang pengen digendong" rengek Willy.

"Hadeuh, berat atuh, Bang," aku mengangkat badannya yang sudah besar. Rey ingin ikut digendong juga. Aku mengangkatnya ke sisi badanku yang lain. Aku berjalan dengan gaya tergopoh-gopoh dan membawa mereka ke kamar. Kulemparkan tubuh mereka bersamaan dengan tubuhku. Kami tertawa dan bersenda gurau sejenak. Kuharap mereka tidak pernah bosan bercanda bersamaku, bahkan saat mereka nanti sudah beranjak dewasa.


Tepat 50 menit sejak berangkat dari Padalarang, aku sampai di kantor di Bandung. Niatku ingin membuat surat penawaran taaruf untuk Wina dan menyimpannya di mejanya. Kupikir tidak ada siapapun di kantor karena ini hari Sabtu. Ternyata pintu kantor sudah terbuka, dan ada banyak sendal di teras luar.

"Lho, kok kak Harry ke kantor?" Tanya Wina, yang sedang berkumpul bersama Iman dan Puja di ruang karyawan.

"Wah sudah rame ternyata, kirain ga pada ke kantor" kataku tak terlalu kaget. Biasanya karyawan terutama yang kosannya dekat dengan kantor datang ke kantor di hari weekend untuk sekedar bermain atau mencari koneksi yang kenceng. Dan di hari itu rupanya mereka hendak pergi untuk rekaman lagu.

"Di studio kantor?" tanyaku.

"Engga kang, di studio luar" jawab Iman.

"Oh, studio yang lebih proper ya hehe.." memang di studio kantor cuma ada mic dan komputer saja, kurang mendukung untuk rekaman lagu.

"Iya kang, di daerah jalan Suci"

"Oh ada ya. Lengkap disitu alat-alatnya?"

"Lumayan kang" jawab Iman. Setahuku mereka memang sedang membuat sebuah lagu. Iman jago bermain gitar, petikannya lembut meskipun yang kudengar menyanyinya terkadang tidak masuk nada alias fals. Sedangkan Wina, memang multitalenta. Dia bisa menulis, menggambar dan suaranya juga bagus.

Wina dan Iman akan pergi ke studio rekaman. Tentu saja mereka akan berboncengan naik motor. Membayangkan hal itu entah kenapa hatiku merasa kurang nyaman. Aku cukup lama merenung di depan lemari buku perpustakaan kantor, sampai mereka hendak berangkat dan melewatiku. "Kak Harry kerja hari ini?" tanya Wina.

"Engga lah, kerja itu Senin sampai Jumat. Kalau weekend itu buat mengejar impian hehe.." jawabku tanpa menoleh. Aku khawatir ekspresi wajahku sedang tidak bagus. Jadi aku pura-pura sedang membaca buku. Andai saja dia paham kalau impian yang kumaksud adalah jodohku.

Setelah mereka berlalu, aku pun merebahkan tubuhku di atas bantal besar di ruang tamu. Kupikir ini adalah sinyal dari Allah atas doa istikharahku pagi tadi. Padahal mungkin ini bukan yang pertama kali. Wina beberapa kali pernah dibonceng oleh Tama, office boy kantor saat hendak membeli makan atau mengirim paket. Aku tetap berusaha berpikir positif. Mungkin kondisi Wina yang memang tidak punya pilihan untuk tidak begitu. Andaikata dia sudah menikah atau punya mahram, tentulah dia akan berangkat bersama mahramnya. Perasaan tidak enak ini mungkin muncul karena mesti kuakui aku sudah punya sedikit rasa kepadanya.

Di atas bantal besar itu akhirnya aku tertidur. Cukup lama, sekitar 1 jam. Aku terjaga saat Puja pamit untuk pulang. Kini hanya ada aku dan Tama di kantor. Aku kembali merenung. Kupikir aku terlalu terburu-buru bila harus membuat surat penawaran taaruf hari ini. Akhirnya aku memutuskan untuk menggali sedikit informasi tentang Wina lewat buku yang dia tulis. Seingatku dia pernah menyumbangkan bukunya ke perpustakaan kantor. Namun tak kutemukan. Aku tanya Tama dia juga tidak tahu.

Aku meminta Tama untuk menanyakan ke Wina, barangkali dia masih punya stok buku di kontrakannya. Aku atur supaya Tama bilang dia ingin baca buku tulisan mba Wina, tapi yang dulu disumbangkan ke kantor ga ketemu. Tak lama kemudian Wina membalas kalau katanya buku yang disimpan di perpustakaan kantor ada yang pinjam, salah satu klien perusahaan yang saat itu datang ke kantor. Dia juga tidak punya stok buku di kontrakannya.

Akhirnya aku putuskan untuk pergi ke toko buku dan membeli buku karya Wina. Aku akan coba sekali lagi dan melihat apakah ada sinyal baru yang bisa kudapatkan. Kuharap aku bisa mengenal lebih dekat sosok Wina dari apa yang ia tulis.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke toko buku Gramedia Merdeka Bandung, karena masih pandemi jadi suasana jalanan kota Bandung tidak terlalu padat. Aku segera parkirkan motorku dan masuk ke gedung Gramedia. Tidak sulit untuk mencari buku karya Wina karena ia seolah sudah menyambutku di depan elevator. Bukunya masuk jajaran best seller. Gambar covernya khas dengan style gambar Wina. Detik itupun aku sadar kalau aku sudah memegang buku yang sama di tasku, punya adikku yang ia ingin aku untuk memintakan tanda tangan Wina didalamnya. Subhanallah. Sekalut itukah aku? Engga lah, aku cuma benar-benar lupa saja.

Aku pun memutuskan untuk pulang. Saat menuruni tangga, aku melihat sebuah lemari kaca yang di dalamnya ada surat yang tersegel dengan stempel lilin, seperti yang ada di film-film jaman dulu. Kupikir ini akan jadi ide yang menarik, bila surat penawarannya kubuat seperti ini. Aku pun kembali dengan motorku pulang ke Padalarang tanpa membeli buku apapun. Melihat apa yang kujalani seharian ini, aku berkesimpulan untuk menahan diri tidak tergesa-gesa. Ada dua agenda yang harus aku selesaikan sebelum melayangkan surat penawaran taaruf kepada Wina, membaca buku karyanya, dan menggali informasi lebih dalam tentang Wina kepada Hendra, Sang Promotor.

Bunga Tidur

"Bro, gue butuh pendapat ente. Lagi nyantai kan?" Aku membuka percakapan dengan Hendra via chat.

"Boleh Bro, mangga. Tapi sebelum itu, gue mau ngasih tau. Boleh ga sih gue ceritain" jawaban Hendra membuatku penasaran.

"Ceritain lah, tentang apa?"

"Gue udah beberapa kali mimpi, kang Harry nikah sama si Wina" jawab Hendra diikuti emoticon senyum.

"Serius Bro?" lagi lagi Wina. Belum sempat aku minta pendapat informasi sudah datang duluan. "Mungkin ente sempet terpapar cerita ini, dari kakak ente mungkin, atau dari founder yang lain?" Karena sebelumnya aku pernah bahas perihal Wina bersama teman-teman founder dulu.

"Ah masa sih. Engga deh kayaknya" jawab Hendra.

Aku pun menceritakan perjalanan istikharahku mulai dari awal soal suara Milea sampai terakhir kemarin pergi ke toko buku.

"Wah seru nih ceritanya. Gue seneng nih dengernya." komentar Hendra. "Jadi sekarang hati lu udah condong sama Wina?"

"Kemarin gue ikutan kelas pranikah. Ada banyak upgrade ilmu. Alhamdulillah gue sampai pada titik pemahaman bahwa menikah itu landasannya bukan cinta, tapi taqwa." kataku. "Gue berusaha sekuat tenaga untuk serasional mungkin dan mengenyampingkan dulu sisi perasaan" aku menjelaskan lagi. "Makanya gue butuh informasi lebih untuk jadi pertimbangan gue mengambil keputusan. Sesuai kaidah, kalau ada mafsadat dan manfaat, maka pertimbangkan dulu mafsadat untuk dihindari. Mungkin kaidah ini bisa dipakai untuk memilih jodoh juga hehe.."

"Baiklah, ane akan dengan senang hati berbagi informasi tentang Wina. Boleh dibilang, sedikit banyak ane cukup kenal latar belakang Wina. Tapi beneran ane dukung seratus persen kang Harry bareng Wina. Kang Harry bisa jadi sosok yang tepat untuk membimbing Wina menjadi lebih keren lagi" ujar Hendra.

"Ya udah, ente udah gue anggap sebagai promotornya Wina. Nanti kalo jadi taarufan, ente dan istri ente jadi penengah ya" pintaku.

"Tenang Pak, lu bisa percayakan ke gue" jawab Hendra.

"Jadi info penting apa yang perlu gue ketahui tentang Wina? Emangnya Wina mau nikah sama duda anak tiga?" Aku mencoba meyakinkan diri.

"Balik lagi ke syarat buat si Wina. Yang penting Persis. Itu syarat dari ortunya" Hendra mulai membuka satu info penting.

"Oh gitu ya"

"Iya. Toh si Wina mah paham agama. Selama pak Hakim yes, Wina pasti ngikut. Cinta mah bisa ditumbuhkan. Yakinkan saja walinya. Dan ane rasa si Wina lebih tertolong, udah punya banyak anak tanpa harus bersusah payah hahaha.."

"Haha.. semoga dia punya pemikiran seperti itu" aku mengaminkan.

"Si Wina mah suka sama orang yang cerdas. Jadi pas lah. Yang penting lamarnya jangan cara biasa, bikin yang wah hehehe.." kata Hendra.

"Bikin semacam lamaran di muka umum gitu ya sambil bilang 'will you marry me'" kataku menggoda.

"Ah ga cerdas yang begitu mah. Bukan budaya kita juga" tukas Hendra.

"Iya, ga banget." kataku menimpali.

"Satu lagi," kata Hendra. "Dapet Wina anda dapat banyak bonus. Wina jomblo sejak lahir. Cinta monyet pun belom pernah. Hatinya masih bersih."

"R U sure?" Kali ini aku benar-benar kaget. "Wah cocok ga ya sama gue?" Aku mulai ngeper.

"Yah jangan lihat ke belakang lah. Keep moving forward, Pak" kata Hendra.

"In syaa Allah. Gw harus semedi dulu 40 hari kayaknya nih" kataku.

"Iya sih, baiknya jangan terburu-buru. Jodoh mah ga akan kabur, tapi bisa direbut batur hehe.." gurau Hendra.

"Ya kalau direbut orang mah bukan jodoh gue berarti haha.."

"Hehe.. iya ya. Satu lagi kang. Dulu waktu ane lamaran sama si Dewi, ane tuh mimpiin si Tini terus. Eh bener kan, ujung-ujungnya sama Tini haha.." pungkas Hendra.

Aku tidak tahu apakah itu cuma sekedar bunga tidur biasa atau mimpi khusus. Satu hal yang pasti, sepertinya aku memang harus maju. Satu demi satu isyarat terus-menerus mengarah ke Wina. Aku harus memastikan kalau ini isyarat yang benar atau bukan, supaya tidak jadi bikin penasaran kedepannya.

"Kalau sudah fix, selanjutnya tinggal minta, sama Yang Punya" pungkas Hendra.

"Yokai Bro"


"Ya Allah," aku terbangun di kamarku yang gelap. Hanya ada sedikit cahaya lampu dari luar yang masuk melalui sela ventilasi di atas pintu. Udara sudah semakin dingin, pertanda sudah mulai masuk waktu dini hari.

Kulihat jam di smartphoneku menunjukkan pukul 3. Aku bermimpi bersama Wina. Halu ini harus segera kuakhiri.

Autograf

Seperti biasa setiap hari Senin semua mitra mentoring bisnis yang aku ikuti diwajibkan untuk mengikuti pembinaan pekanan. Pembinaan pekanan dilakukan secara online pada pukul 3 dini hari. Sebelum meeting dimulai semua mitra diharuskan untuk shalat tahajjud dahulu minimal 2 rokaat. Baru kali ini aku menemukan komunitas bisnis yang ga cuma bahas soal kewirausahaan dan finansial. Bahkan Ramadhan kemarin sebagian besar pembinaan diisi oleh para ustadz dan ulama.

Pembinaan kali ini berfokus pada bagaimana mendatangkan percepatan rezeki, salah satunya dengan sinergi sayap-sayap bidadari. Sayap-sayap bidadari yang dimaksud adalah keridhaan orang tua dan juga pasangan. Dalam menjalankan bisnis, orang tua perlu mengetahui bisnis apa yang sedang kita jalani. Dengan begitu mereka dapat mendoakan kesuksesan bisnis kita dengan lebih ridha. Begitu pula dengan keridhaan pasangan hidup kita, suami atau istri. Pasangan hidup perlu tau apa yang kita usahakan sehingga mereka dapat memahami dan mendukung dengan sepenuh hati. Dukungan orang tua dan pasangan akan mempercepat kesuksesan dalam bisnis.

Dari situ pembahasan menjalar ke problematika para jomblo. Entah berapa banyak pasangan yang menunda-nunda pernikahan hanya karena uangnya belum cukup untuk resepsi di gedung dan lain-lain. Ada juga yang menunda karena faktor kebiasaan dan adat-istiadat. Misalnya menunda karena kakaknya belum menikah. Mentor kami berpesan untuk menyederhanakan resepsi. Kalaupun ada rezeki lebih, lebih baik besarkan di mahar, bukan di resepsi. "Dengan membesarkan mahar, minimal kalau lagi BU bisa pinjam dulu sama istri hehehe.." begitu gurauan sang mentor. Selain disederhanakan, menikah juga harus disegerakan. Rahmat Allah dekat dengan hamba yang bersegera dalam kebaikan.

Apakah ini bagian dari isyarat untukku menyegerakan? Mungkin saja kebetulan, tapi tidak ada kebetulan di sisi Allah. Semua sudah by design. Kadang suka berpikir bagaimana kalau ditolak haha.. Aku lalu kembali mengingat materi yang sudah pernah lupelajari, bahwa kepasrahan kita kepada Allah akan mendatangkan kebaikan di sisi Allah. Setiap hal yang kutemui yang kuanggap isyarat adalah bagian dari husnuzhan-ku kepada Allah. Bilapun tidak jadi, maka tentulah ada hal lain yang Allah ingin aku belajar darinya, dan tentunya itu pun baik untukku.

Selepas shalat shubuh aku kembali duduk di depan laptop. Aku membuka satu dokumen yang dulu pernah kubuat, dokumen curriculum vitae pribadi. Tapi CV yang ini sedikit berbeda. Ini CV taaruf. Ada tambahan informasi lain seperti gambaran fisik diri, gambaran keluarga, ikhtiar kesiapan menikah, visi dan misi pernikahan, kriteria calon pasangan, sampai harapan-harapan pasca pernikahan. CV ta'aruf ini digunakan sebagai media perkenalan tahap awal bagi seseorang yang ingin melakukan ta'aruf. Aku tidak tau seefektif apa penggunaan CV ta'aruf ini dalam prosesnya di lapangan. Tapi kali ini aku akan menggunakan CV ta'aruf untuk memperkenalkan diriku sedikit lebih dalam, dan juga supaya dia lebih mudah saat menjelaskan tentang diriku kepada orang tuanya nanti.

Aku merasa perlu memperbaharui beberapa bagian dari isi dokumen CV ta'arufku, terutama setelah banyak wawasan baru yang kudapatkan dari kelas pranikah online beberapa waktu yang lalu. Oh iya, aku baru ingat kalau informasi kelas pranikah online itu juga kudapatkan dari Instagram Story Wina. Seolah ia mengatakan kepada siapapun yang ingin melamarnya supaya upgrade terlebih dulu ilmu dan wawasan tentang pernikahan.

Sekali lagi udara dingin mengalir dari atap genting tetangga masuk ke kamarku yang ada di lantai dua, menggodaku untuk kembali menarik selimut dan berbaring lagi. Matahari sudah mulai naik, langit sudah mulai terang. Sudah beberapa pekan sejak aku mulai kembali membiasakan diri tidak tidur lagi setelah shubuh. Tapi pagi itu kepala dan kelopak mataku kompak menjatuhkan tubuhku kembali ke atas kasur tipis yang hangat.


Iman sedang sibuk menyiapkan kamera di ruang tamu ketika aku sampai di kantor. Hari ini adalah jadwalnya membuat video intro untuk dokumentasi dan manual penggunaan aplikasi untuk klien. Rumput sintetis di ruang tamu seolah berdiri memanggilku untuk rebahan di atasnya. Aku duduk sebentar disitu sambil memperhatikan situasi kantor yang cukup senyap.

"Pada kemana Man yang lain?" tanyaku.

"Masih pada di jalan kang" jawab Iman.

Aku masuk ke ruang karyawan. Baru ada beberapa orang saja disana, dan tidak kutemukan sosok Wina. Apakah dia tidak masuk kerja?

Aku masuk ke ruang kerja founder dan menyalakan laptop seperti biasa. Sayup-sayup terdengar suara seperti Wina. Aku berjalan menuju ruang kelas training dan rupanya Wina ada disitu. Dia melihatku saat aku membuka pintu. Aku langsung kembali ke meja kerjaku, mengambil buku novel tulisan Wina milik adikku dan bergegas menuju ruang kelas.

"Wina, lihaat!" kataku.

"Waaah.." Wina tampak kaget karena aku memegang novel karyanya.

"Minta tanda tangan yaa.." pintaku. Dia masih sumringah melihat buku novel karyanya sendiri seperti menemukan barang yang hilang.

"Kak Harry beli ini?" tanya Wina.

"Ini punya adik saya. Dia minta aku supaya bukunya ditandatangani sama teh Wina." kalau tidak, aku mungkin akan beli sendiri bukunya, tapi tak akan aku ceritakan pada siapapun. "Sekalian kasih catatan yah, quote atau nasihat gitu, adik saya masih agak kekanak-kanakan, padahal dia udah semester tujuh".

"Oh ya. Quote apa ya? Wina jadi bingung.." kata Wina. Dia masih membolak-balik halaman bukunya.

"Apa aja bebas, motivasi-motivasi gitu." kataku.

"Motivasi apa atuh, aku juga orang yang masih butuh motivasi" jawab Wina.

"Bilang aja supaya segera lulus kuliahnya dan segera nikah" kataku lagi.

"Yah masa Wina suruh nikah, orang Wina aja belum nikah" ujar Wina. Situasi sunyi sejenak.

"Ga apa-apa lah, siapa tau itu jadi doa juga buat kamu kan" jawabku sambil menahan tawa di perut. Hampir saja kalimat gombal mendarat tidak pada waktunya. Aku harus serasional mungkin. Tidak boleh ada ucapan gombal sebelum ucapan ijab kabul.

Wina mengembalikan buku itu padaku. Di halaman pertama ia torehkan tanda tangan dan nama lengkapnya Wina Lukmanul Hakim. Di bagian bawahnya ia tuliskan pesan singkat "Halo Deta, cepet lulus dan cepet nemuin jodoh ya.. :)". Aku aminkan dalam hati. Itu pilihan kalimat yang bagus. Meskipun Deta boleh dibilang punya teman dekat laki-laki, kalau tak ingin dibilang pacar, itu belum jadi jodohnya sampai ia naik ke jenjang pernikahan.

"Nuhun yaa Wina," kataku. Aku berlalu dari ruang kelas. Tiba-tiba aku ingat kata-kata Hendra, sebaiknya kirim proposalnya pas dia lagi pulang, jadi dia bisa langsung diskusi sama ortunya.

"Oh ya Win, kamu kapan pulang kampung?" tanyaku dari lubang pintu.

"Kenapa kak?" tanya Wina balik sambil tetap fokus pada laptopnya. Itu pertanyaan yang tidak aku perkirakan.

"Eee.. saya mau nitip, sambal hehe.." jawabku, maksudnya nitip pesan sambal kemasan yang diproduksi oleh ibunya Wina. Untunglah sambal ibunya Wina itu terlintas di ingatanku. Saat kemarin dia balik lagi ke Bandung, dia membawa sambal itu. Nama brandnya Sambal Nyai. Rasanya nendang banget. Aku sudah pernah pesan sebelumnya.

"Ga tau kak, kan baru pulang kemarin" jawab Wina. Kali ini dia bilang sambil melihatku.

"Oh iya ya. Ya udah nanti aja nyantai." kataku. Aku khawatir dia akan menawarkan pengiriman online karena aku berharap untuk selanjutnya aku mencicipi sambalnya langsung di atas meja makan rumah mereka. Waduh, mulai berhalu lagi ini haha..


sambal Nyai memang enak, bikin nafsu makan meningkat berkali lipat. Aku jadi harus menambah nasi karena nasinya keburu habis. Masih ada sambal tersisa di piringku, sayang sekali kalau tidak dimakan. Tapi aku tidak sanggup juga kalau harus makan sambalnya saja tanpa lauk atau nasi.

"Ini udah pada makan belum?" tanyaku pada karyawan. Masih ada nasi untuk satu porsi lagi di magic com. Perusahaan menyediakan beras untuk dimasak oleh karyawan, sehingga karyawan cukup bekal atau beli lauk saja untuk makan siang.

"Wina belum," dia mengacungkan tangan kanannya. Aku mengurungkan niat untuk nambah nasi. Duh, aku tidak tega bila melihat ada sisa makanan tidak termakan. Mungkin itu yang jadi penyebab perutku semakin buncit. Setiap kali makan-makan di luar bareng keluarga, aku tidak pernah memesan menu, karena menu yang dipesan anggota keluarga yang lain tidak pernah habis. Aku selalu jadi bagian sweeping. Untungnya masih ada beberapa butir dim sum yang juga dibawa oleh Wina. Satu dim sum cukup untuk jadi teman makan sisa sambal ini.

Sembari itu, aku membuka aplikasi Instagram. Kulihat Wina baru saja memposting gambar baru. Kali ini kombinasi antara fotonya dan gambar 2D buatannya. Lucu sekali dan enak dilihat. Tapi ada satu yang mengganjal hati. Aku coba zoom in foto itu ke bagian lengan Wina. Kulihat persis sebuah cincin melingkar di jari lengan Wina pada foto tersebut.

Ternyata benar, bakal jodoh bisa hilang direbut orang. Siapa cepat dia dapat. Aku berpikir apa-apaan aku selama ini, sibuk dengan isyarat tidak jelas yang boleh jadi itu muncul karena kesadaranku terfokus pada Wina. Sehingga apa-apa tentang Wina kuanggap sebagai tanda-tanda kemajuan. Apa-apaan aku ini?

Terus kenapa Hendra tidak memberitahuku kalau Wina sudah ada yang meminang??

Nasihat Taqwa

Aku nyaris telat menghadiri agenda yang sudah aku sanggupi untuk mengikutinya. Malam ini ada kegiatan diskusi Tautsiqul Jam'iyyah atau penguatan organisasi di Pemuda Persis PC Padalarang. Kegiatan dimulai pukul 19:30 dan aku masih di kantor jam 18:30. Biasanya durasi perjalanan bermotor dari kantor Bandung ke Padalarang itu sekitar 45 menit bila jalanan lancar. Kalau macet bisa sampai 1 jam lebih. Aku harus mampir dulu ke rumah untuk ganti baju dan bermain dulu sama anak-anak. Tapi aku tiba di Padalarang tepat pukul 19:30, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk langsung ke kantor PC. Dugaanku benar, kegiatan belum dimulai.

Aku duduk di jajaran paling depan, sebelahan dengan kang Heri, anggota Pemuda yang aku hanya bertemu dengannya di momen pengajian Pemuda saja. Dia bertanya kepadaku apakah sudah punya pasangan lagi. Aku bilang belum ada. Niat hati ingin bercerita progres yang sedang kujalani ini, tapi ini momen yang kurang tepat karena diskusi sebentar lagi dimulai. Tak lama ustadz Agus Priyatna sebagai ketua PW Pemuda Persis Jawa Barat maju ke depan dan memulai penjelasan materi.

Singkat cerita proses diskusi selesai pada pukul setengah sepuluh malam. Hanya sedikit pertanyaan yang dapat dijawab karena waktu yang terbatas. Selesai diskusi semua anggota yang hadir dipersilakan untuk menyantap hidangan makanan berat yang sudah disediakan di ruangan sebelah. Acara ini terbilang ramai pengunjung. Tidak seperti agenda PC sebelum-sebelumnya yang hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, acara kali ini --mungkin karena diisi oleh ketua PW, sehingga hampir setiap anggota jamaah menghadiri dan mengikuti acara dengan cukup antusias.

Aku mengambil hidangan yang disediakan secukupnya karena sebelumnya sudah makan di kantor. Di ruangan utama sudah banyak anggota Pemuda yang makan bersama dalam lingkaran-lingkaran kecil. Aku tidak hapal semua anggota Pemuda Padalarang, jadi aku memilih bergabung dengan lingkaran yang mayoritas kukenal. Nampak satu badan yang cukup besar dan mendominasi percakapan di salah satu lingkaran. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya, ustadz Irfan, yang akrab dengan sebutan abah Ifank. Beliau sendiri yang ingin dipanggil seperti itu. Beliau adalah kepala sekolah madrasah ibtidaiyaah dimana Willy bersekolah. Di Pemuda Persis beliau menjabat sebagai wakil ketua di level Pimpinan Pusat. Meskipun beliau orang nomor dua di Pemuda Persis, beliau tetap memposisikan dirinya sebagai anggota di setiap agenda Pemuda Persis di daerah, terkecuali bila posisi beliau dibutuhkan sebagai perwakilan Pimpinan Pusat.

"Weiss Harry, sini sini.." beliau mempersilakanku duduk di sampingnya. Abah Ifank sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Beliau adalah guru agamaku saat aku masih SD dulu. Beliau hadir saat aku menikah dulu dan beliau juga hadir saat istriku meninggal. "Kumaha, tos aya deui cecepengan teh?" tanya Abah, bertanya apakah aku sudah punya gandengan lagi alias calon istri.

"Belum, Bah" jawabku. "Tapi sudah ada inceran mah".

"Anak Persis juga? Orang mana?"

"Iya alumni Benda juga. Adik kelas tapi jaraknya sekitar 6 tahunan."

"Sudah ditanya belum?"

"Belum, Bah" jawabku. Seolah paham apa yang sedang kujalani Abah Ifank memberiku nasihat menarik.

"Yeuh, kalo sudah ada niat, jangan ditunda-tunda. Segerakan. Kalau belum pasti, pastikan." Nasihatnya mirip dengan nasihat mentor bisnisku saat pembinaan pekanan Senin lalu. "Niatkan untuk ibadah karena Allah. Kalau agamanya sudah baik, dan kamunya sreg, dilihat bikin nyaman, geura puguhkeun!" maksudnya segera pastikan.

"Satu lagi," Abah seolah ingin memungkas nasihat, "Kita tidak tahu siapa yang akhirnya bakal jadi jodoh kita. Tapi siapapun itu, kalau niatnya karena Allah, in syaa Allah pasti dimudahkan. Kalaupun ditolak, tinggal cari lagi yang lain, ga akan ngeper karena sejak awal niat kita untuk beribadah." Nasihat Abah membuatku merasa tercerahkan. "Tapi kalau Harry mah jigana moal ditolak sih hehe.." Kalimat ini membuatku semakin optimis. "Tapi andaikata ditolak pun ga masalah, berarti memang tidak cocok buat antum." Kalimat terakhir ini membuatku stabil kembali. Aku seperti membayangkan sedang memasukkan semua angan-angan liarku dengan Wina bila jadi menikah ke dalam satu lemari besar dan menutupnya rapat-rapat, menguncinya dan kulempar kuncinya ke lautan. Seorang leader harus berdiri tangguh dan tak terganggu dengan hal remeh-temeh.

"In syaa Allah, Bah" jawabku pendek dan yakin. Mungkin aku memang sudah harus move on. Lagi-lagi move on. "Tenang Bah, saya sudah biasa ditolak saat berjualan BP. Jadi kalau ada wanita yang menolak rasa-rasanya saya bisa tahan hehe.."

"Jadi kapan mau memastikan?" tanya Abah sambil menatap mataku menunggu aku memberikan jawaban tegas. Aku sedang tidak ingin membahas hal itu.

"Secepatnya Bah" jawabku ringkas.

Aku tidak berlama-lama di kantor PC. Sesaat setelah mencuci tangan dan piring bekas sendiri, aku langsung pamit ke semua anggota yang masih ada. Termasuk ke Abah dan jajaran tasykil lainnya. Sampai di rumah aku langsung mengirim pesan ke Hendra, mencoba untuk mengklarifikasi sekali lagi apa memang benar Wina sudah ada yang meminang.

"Apa? Masa sih? Coba lihat fotonya," Hendra sepertinya juga belum tau hal ini. Aku mengirimkan URL postingan Wina yang mengenakan cincin.

"Hahaha.. itu mah cincin biasa. Dipasangnya juga di jari tengah, bukan jari manis." kata Hendra.

"Masa sih? Coba tolong ente tanya. Untung ane belum kirim proposal" kataku supaya benar-benar clear.

Tak lama kemudian Hendra mengirimkan screenshot percakapan dia dengan Wina. Ternyata memang belum. Apa-apaan aku ini? Sibuk dan riweuh sama hal yang belum jelas haha..

"Jadi masih ada kesempatan nih?" tanyaku pada Hendra.

"Ayolah maju teruuus!" jawab Hendra sambil mengirimkan sticker foto dia dengan teks bertuliskan GAMBATTE!


Semalaman suntuk aku membuat tulisan pendek untuk menjelaskan duduk perkara yang sedang kualami ini kepada Wina. Di bagian akhir tulisan itu aku membuat paragraf pamungkas yang menjelaskan maksud dari tulisan tersebut. Ya, aku mengurungkan niatku untuk memberikan CV taaruf secara langsung kepada Wina. Hanya sepucuk surat digital yang nantinya akan kusimpan di website pribadiku dan kuberikan tautan untuk mengaksesnya kepada Wina via WhatsApp. Aku tidak terlalu yakin apakah pesan yang kutulis ini cukup jelas untuk memberi tahu Wina kalau aku punya maksud untuk melamarnya. Karenanya di bagian akhir tulisan tersebut aku menegaskan pertanyaan yang harus dia jawab YA atau TIDAK. Aku sudah menyiapkan dua buah tombol dengan label Ya dan Tidak yang bisa dia tekan salah satunya, yang nantinya tombol tersebut akan mengirimkan notifikasi ke aplikasi Telegram Messengerku via Telegram Bot yang sudah kubuat.

Seharian di kantor kali ini aku tidak fokus bekerja. Aku menunggu jam sore kepulangan karyawan agar aku bisa segera memberikan link tulisan ini kepada Wina. Aku ingin dia membacanya di kosannya. Sisa waktu menuju kesana kuhabiskan dengan membaca buku karya Wina yang kemarin sudah dia tandatangani. Belum sempat kuberikan kepada adikku karena aku belum berkunjung lagi ke rumah ibu mertua.

Semakin lama menunggu semakin hati ini dagdigdug ga karuan. Aku mencoba menghela nafas panjang, berjalan-jalan di ruangan kantor, bermain gitar bersama Tama, menyetel Youtube, bernyanyi-nyanyi dengan suara ga jelas. Sesekali terdengar suara anjing-anjing tetangga menggonggong, ayam-ayam berkokok sambil buang kotoran di teras depan kantor, dan burung-burung tetangga berkicau riang dari dalam sarangnya, tak jelas apakah ia menikmati hidupnya di dalam sana ataukah meratapi nasibnya yang jauh dari kebebasan seperti burung-burung lainnya yang terbang lewat. Waktu berjalan cukup lambat sampai aku bisa mengamati sisi perut dan telapak kaki cicak kecil yang berjalan di bagian luar permukaan kaca ruang kantor.

Tombol manapun yang dia pilih untuk diklik tidak boleh melunturkan profesionalitasnya bekerja di kantor ini, begitu pula dengan aku. Mungkin lebih tepatnya, kalau dia mengklik tombol Tidak, maka kehidupan haruslah berjalan sebagaimana biasanya, seolah tidak pernah ada pesan tertulis yang kubuat untuknya. Andaikata pun dia mengklik tombol Ya, maka yang terjadi setelah itu bisa dibahas lebih lanjut. Lagipula masih ada satu langkah lagi yang harus kulalui setelah dia menerima proposal penawanku, yakni meyakinkan orang tuanya untuk juga dapat menerimaku sebagai menantu mereka. Saat ini biar kusimpan dahulu bahan pemikiran itu untuk nanti.

"Kak Harry Wina pulaaang" tanda jam sudah menunjukkan pukul lima sore.

"Iya Win, thanks yaa untuk hari ini" jawabku.

Aku langsung mengirimkan satu pesan ke WhatsAppnya,

Win, cek link ini ya. Aku bikin tulisan pendek. https://s.id/isyarat. Bacanya harus berurutan dari atas sampai bawah supaya bisa dipahami.

Wina pun menjawab,

Oke Kak ntar Wina baca.

Aku kirim lagi pesan,

Btw nanti di bagian akhirnya ada kuestioner, tolong bantu dikerjakan juga yaa

Dia tak membalas lagi pesanku.

Wina, apakah kamu bisa memahami maksud tulisanku itu?

Isyarat Terakhir

''krik krik'' suara tanda ada pesan masuk ke smartphonenku. Saat itu aku sedang on-wire mengerjakan bagian penting dari sistem informasi kantorku. Task ini harus selesai hari ini, karena harus launch awal bulan depan atau sekitar 2 hari lagi. Besok harus sudah bisa dites supaya lusa bisa diumumkan sesuai jadwal.

Tapi suara jangkrik tadi rasanya berbeda dari biasanya. Tentu saja harusnya tidak berbeda karena tidak ada pengaturan khusus suara jangkrik lain untuk kondisi tertentu di hapeku. Aku padahal sudah menyimpan jauh-jauh dari jangkauan tangan, tapi tubuhku seolah berdiri sendiri ingin meraih hape itu. Aku berjalan dengan sangat ringan, dan tidak terlalu khawatir akan buyarnya fokusku. Bahkan kode program yang sedang kukerjakan belum aku save. Kulihat layar hapeku dan ada beberapa notifikasi dari email, WhatsApp dan juga Telegram. Satu pesan yang paling menarik minatku untuk kubuka, adalah pesan Telegram dengan nama kontak Penengah_bot. Aku segera membukanya tanpa ingin menerka-nerka isinya. Ibu jari kiriku bergerak gesit seolah hendak mendahului kecepatan detak jantungku.

Kau tau, hanya ada dua kemungkinan pesan yang masuk lewat bot telegram ini. Ya dan Tidak. Seperti yang kau tau, aku telah membuat sebuah aplikasi sederhana untuk menuangkan semua kesimpulan isyarat yang sudah kutangkap dan kukumpulkan dengan teliti selama dua minggu terakhir ini. Semuanya untuk satu momen ini. Tombol manapun yang Wina tekan, akan terkirim kepadaku melalui bot ini.

Semua isyarat itu selalu mengarah ke satu nama, Wina. Sejak datang isyarat pertama, sudah kutahan diri ini sepenuh tenaga supaya tak ada seorang pun yang dapat menerka gelagatku atas perasaan yang semakin lama semakin membesar. Aku sadar betul aku orang dengan ekspresi wajah yang mudah sekali ditebak. Semua teman dekatku mengatakan hal itu. Ketika aku menyukai seseorang, sekalipun aku mengelak, teman-temanku selalu saja tahu kalau aku punya ketertarikan pada orang itu. Maka dari itu, kali ini, aku coba tutupi perasaanku ini dengan menjadi over realistis. Yah, berharap kalau aku keburu mati dengan memendam perasaan ini, aku termasuk orang yang mati syahid. Sangat lumayan untuk diperjuangkan.

Aku pernah berdiskusi dengan guru bahasa Indonesiaku di SMP. Sambil memegang kertas tugas mengarangku, waktu itu beliau bilang kalalu aku berbakat menulis. Beliau lalu memberiku satu tips bagus supaya tulisanku lebih menarik untuk dibaca. Sentakan akhir. Yup, sentakan akhir ini bisa berupa hal yang tidak terduga, dengan ending yang terang benderang dan memukau si pembaca.

Tapi kali ini aku ingin bereksperimen. Kau pasti tau, ada banyak film bagus yang endingnya dikembalikan kepada imajinasi penonton. Si sutradara ingin para penonton karyanya dapat menikmati imajinasinya sendiri, agar tidak terbuai dengan gambar dan plot yang disajikan dan berhenti begitu saja setelah filmnya selesai. Tapi jangan salah sangka. Aku tidak ingin membuat tulisan semacam itu. Lebih tepatnya aku ingin ada ending untuk akhir tulisanku, tapi aku juga belum tahu bagaimana akhir kisah tulisanku. Sepertinya akan cukup menarik bila endingnya kukembalikan kepada kamu sebagai pembaca. Maka dari itu aku sudah menyiapkan dua buah tombol di bawah ini.

Sekarang ayo kita berandai-andai. Andaikata kamu adalah tokoh Wina, dan aku sebagai penulis adalah tokoh Harry, kira-kira tombol mana yang akan kamu tekan? Sebagai catatan, tombol manapun yang kau tekan, tidak akan mempengaruhi profesionalitas kita di dalam bekerja di perusahaan. So, feel free to choose. Kalau kamu bingung dan bimbang, kamu boleh istikharah dulu atau meminta pendapat ortumu dulu. :)

Wina, apakah Kamu bersedia menerima lamaran Harry?

Ya Tidak